Pahlawan Kemerdekaan Nasional (Keppres No. 657 Tahun 1961, tanggal 27 Desember 1961)

Keberadaan organisasi Budi Utomo tidak lepas dari sosok dokter Sutomo. Pendiri sekaligus ketua dari organisasi tersebut, terkenal sebagai seorang dokter yang dermawan dan juga aktif dalam politik. Dalam buku Rekam Jejak Dokter Pejuang dan Pelopor Kebangkitan Nasional (2008) karya HM Nasruddin Anshoriy, Sutomo lahir di desa Ngapeh, Nganjuk pada 30 Juli 1888.

Sutomo sebenarnya memiliki nama asli Subroto, namun, untuk bisa masuk ke sekolah Belanda, namanya berubah menjadi Sutomo. Ayahnya, Raden Suwaji adalah seorang priyayi pegawai pangreh yang maju dan modern. Sutomo termasuk orang beruntung, karena dibesarkan dalam keluarga yang terhormat, berkecukupan, dan cukup dimanja. Pengaruh religius juga mengalir deras dalam diri Sutomo. Kakeknya bernama R. Ng Singawijaya atau KH Abdurrakhman  dan neneknya menuntut Sutomo kecil agar taat beragama, beribadah, memiliki perasaan damai, berani, dan kokoh pendirian.

Di usia 6 tahun, Sutomo diboyong ke Madiun bersama kedua orangtuanya. Di sana Sutomo masuk ke Sekolah Rendah Belanda di Bangil. Selesai pendidikan di sana, Sutomo dihadapkan pada 2 pilihan. Ayahnya, ingin Sutomo masuk School tot Opleiding van Indische Aartsen (STOVIA) sebagai dokter. Sedangkan sang kakek menginginkannya menjadi pangreh praja. Hal tersebut cukup menyita pikirannya, namun hati kecilnya memilih kedokteran. Baginya, pekerjaan pangreh praja hanya disuruh-suruh Belanda.

Melalui perenungan panjang, akhirnya Sutomo tegas menolak jabatan pangreh praja. Pada usia 15 tahun, Sutomo ke Batavia dan resmi menjadi siswa STOVIA pada 10 Januari 1903. Di sekolah kedokteran ini, Sutomo terkenal sebagai siswa paling nakal, berani, malas belajar, suka menyontek dan mencari masalah. Sehingga kehidupans sosial maupun pelajarannya di STOVIA cukup berantakan dan tidak beres.

Menjelang tahun ketiga pendidikannya, Sutomo berubah drastis. Dirinya menjadi begitu serius dalam belajar. Perilakunya menunjukkan banyak perubahan. Bahkan, di salah satu mata pelajaran Aljabar dirinya bisa menyelesaikan soal dengan sempurna. Padahal tidak ada satupun teman kelasnya yang bisa menjawab.

Perubahan makin meningkat setelah dirinya mengetahui bahwa sang ayah meninggal dunia pada 28 Juli 1907. Hal tersebut mengubah cara hidup Sutomo. Sutomo berubah menjadi siswa pendiam, dan sangat perhatian dengan teman-temannya. Jiwa sosial dan kepeduliannya terhadap negara juga mulai tumbuh.

Tahun 1908, bersama rekan-rekannya Sutomo mendirikan Budi Utomo, menjadi tonggak pergerakan politik Sutomo melawan pemerintah Hindia Belanda. Meski sibuk dengan organisasi, Sutomo bisa menyelesaikan pendidikannya pada 1911.

Mulai bertugas di Semarang, Tuban, Sumatera Timur, dan beberapa kota lainnya. Berkeliling daerah membuat Sutomo semakin sedih melihat kondisi rakyat Indonesia. Jiwanya panas dan hatinya terluka melihat bangsanya sengsara karena Belanda. Akhirnya Sutomo memilih untuk mendermakan hidupnya membantu kesehatan masyarakat. Imbasnya Sutomo sedikit renggang dengan kegiatan organisasinya.

Sutomo mempersunting seorang janda yang bekerja sebagai suster bernama Everdina Bruring. Perpaduan dua orang beda bangsa dan bermusuhan ini mengundang polemik. Pertemuan mereka bermula ketika Sutomo menjemput Everdina di Stasiun Blora untuk membantunya bertugas. Sutomo pun mulai memahami kesedihan Everdina. Kedatangannya ke Hindia Belanda adalah untuk menghibur diri setelah kematian suaminya terdahulu. Meski berdarah Belanda, Everdina tidak pernah menghalangi Sutomo melawan politik kolonial bangsanya. Bahkan tak jarang Everdina membantu Sutomo menyusun strategi melawan Belanda.

Mereka pun menikah pada tahun 1917. Namun, ternyata pernikahan tersebut tidak direstui kakak Everdina dan menyebabkan hubungan keduanya renggang. Di mata Sutomo, sang istri adalah perempuan pujaan. Tugas harian seperti memasak, mencuci, dan sebagainya rela dilakukan. Bahkan di waktu-waktu libur, Everdina tidak berhenti menyiapkan keperluan logistik di rumah, karena organisasi Sutomo sering mengadakan rapat di rumah. Pengabdian yang tulus ini membuat Sutomo semakin cinta kepada Everdina. Sampai akhir hayatnya, hanya Everdina satu-satunya perempuan yang singgah di hati Sutomo.

Semenjak wafatnya Everdina pada 17 Februari 1934, Sutomo tidak pernah berniat sedikitpun untuk menikah lagi. Sutomo wafat pada 30 Mei 1938. Untuk mengenang jasa-jasa beliau, Sutomo dimakamkan di Gedung Nasional Bubutan, Surabaya, serta diberi gelar Pahlawan Pergerakan Nasional pada 1961.

Comments to: Dr. Sutomo (dr. Soetomo)

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Attach images - Only PNG, JPG, JPEG and GIF are supported.