Pahlawan Nasional (Keppres No. 113/TK/2011, tanggal 7 November 2011)

Berasal dari Sumatera Barat     Usia saat meninggal : 73 tahun
Lahir : Senen Kliwon, 17 Februari 1908   di Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam, Sumatera Barat
Gugur/Meninggal : Jumat Legi, 24 Juli 1981   di Jakarta, Indonesia

Lokasi Makam/Monumen : Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

Kiprah & Perjuangan :

Ketua Majelis Ulama Indonesia yang pertama. Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Seorang Sastrawan, Aktivis Politik, Wartawan, Penulis, Ulama, Editor, Ahli Filsafat.

Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah bin Abdul Karim Amrullah bin Syeikh Muhammad Amrullah bin Tuanku Abdullah Saleh bin Tuanku Syeikh Pariaman atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Sungai BatangTanjung RayaKabupaten AgamSumatera Barat17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik.

Hamka lahir pada 17 Februari 1908 [Kalender Hijriyah: 13 Muharram 1362] di MinangkabauSumatera. Ia lahir sebagai anak pertama dari tujuh orang bersaudara dan dibesarkan dalam keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Ayahnya bernama Abdul Karim Amrullah, ulama pembaru Islam di Minangkabau yang akrab dipanggil dengan sebutan Haji Rasul, sementara ibunya, yakni Sitti Shafiyah, berasal dari keturunan seniman di Minangkabau. Adapun ayah dari Abdul Karim, kakek Hamka, yakni Muhammad Amrullah dikenal sebagai ulama pengikut Tarekat Naqsyabandiyah.

Sebelum mengenyam pendidikan di sekolah, Hamka tinggal bersama neneknya di sebuah rumah di dekat Danau Maninjau. Ketika berusia enam tahun, ia pindah bersama ayahnya ke Padang Panjang. Sebagaimana umumnya anak-anak laki-laki di Minangkabau, sewaktu kecil ia belajar mengaji dan tidur di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebab anak laki-laki Minang memang tak punya tempat di rumah.[1] Di surau, ia belajar mengaji dan silek, sementara di luar itu, ia suka mendengarkan kaba, kisah-kisah yang dinyanyikan dengan alat-alat musik tradisional Minangkabau.[2] Pergaulannya dengan tukang-tukang kaba, memberikannya pengetahuan tentang seni bercerita dan mengolah kata-kata. Kelak melalui novel-novelnya, Hamka sering mencomot kosakata dan istilah-istilah Minangkabau. Seperti halnya sastrawan yang lahir di ranah Minang, pantun dan petatah-petitih menjadi bumbu dalam karya-karyanya.

Hamka telah berkelana ke sejumlah tempat di Minangkabau sejak berusia remaja, sehingga dijuluki oleh ayahnya dengan sebutan “Si Bujang Jauh”.[13] Ketika berusia 15 tahun, setelah mengalami suatu peristiwa yang mengguncangkan jiwanya, yakni perceraian orang tuanya, Hamka telah berniat pergi ke pulau Jawa setelah mengetahui bahwa Islam di Jawa lebih maju daripada Minangkabau terutama dalam hal pergerakan dan organisasi. Namun setiba di Bengkulu, Hamka terkena wabah penyakit cacar, sehingga setelah sekitar dua bulan berada di atas pembaringan, ia memutuskan kembali ke Padang Panjang.[11] Meski begitu niatnya untuk pergi ke pulau Jawa tidak terbendung. Pada tahun 1924, setahun setelah sembuh dari penyakit cacar, ia kembali berangkat ke pulau Jawa.

Setiba di pulau Jawa, Hamka bertolak ke Yogyakarta dan menetap di rumah adik kandung ayahnya, Ja’far Amrullah.[15][16] Melalui pamannya itu, ia mendapat kesempatan mengikuti berbagai diskusi dan pelatihan pergerakan Islam yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Sarekat Islam.[17] Selain mempelajari pergerakan Islam, ia juga meluaskan pandangannya dalam persoalan gangguan terhadap kemajuan Islam seperti kristenisasi dan komunisme. Selama di Jawa, ia aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan agama. Dalam berbagai kesempatan, ia berguru kepada Bagoes HadikoesoemoHOS TjokroaminotoAbdul Rozak Fachruddin, dan Suryopranoto.[18] Sebelum kembali ke Minangkabau, ia sempat mengembara ke Bandung dan bertemu dengan tokoh-tokoh Masyumi seperti Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir, yang memberinya kesempatan belajar menulis dalam Majalah Pembela Islam.[19]

Menjelang pelaksanaan ibadah haji berlangsung, Hamka bersama beberapa calon jemaah haji lainnya mendirikan organisasi Persatuan Hindia Timur, sebuah organisasi yang memberikan pelajaran manasik haji kepada calon jemaah haji asal Indonesia.[26] Setelah menunaikan haji, dan beberapa lama tinggal di Tanah Suci, ia berjumpa dengan Agus Salim dan sempat menyampaikan hasratnya untuk menetap di Mekkah, tetapi Agus Salim justru menasihatinya untuk segera pulang.

Selama di Medan, ia menulis Di Bawah Lindungan Ka’bah, yang terinspirasi dari perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927.[41] Setelah Di Bawah Lindungan Ka’bah diterbitkan pada tahun 1938, ia menulis Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, yang pada awalnya ditulis sebagai cerita bersambung dalam Pedoman Masyarakat.[42] Selain itu, ia juga menerbitkan beberapa roman dan buku-buku lainnya seperti: Merantau ke DeliKeadilan IlahiTuan DirekturAngkatan BaruTerusirDi Dalam Lembah KehidupanAyahkuTasawuf Modern, dan Falsafah Hidup.[43][39] Namun pada tahun 1943, Majalah Pedoman Masyarakat yang dipimpinnya dibredel oleh Jepang, yang ketika itu berkuasa di Indonesia.[44]

Setelah perkawinannya dengan Sitti Raham,[45] Hamka aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah cabang Minangkabau, yang cikal bakalnya bermula dari perkumpulan Sendi Aman yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1925 di Sungai Batang.[46] Selain itu, ia sempat menjadi pimpinan Tabligh School, sebuah sekolah agama yang didirikan Muhammadiyah pada 1 Januari 1930.[47][48]

Pada tahun 1953, ia terpilih sebagai pimpinan pusat Muhammadyiah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto. Sejak saat itu, ia selalu terpilih dalam Muktamar Muhammadiyah selanjutnya, sampai pada tahun 1971 ia memohon agar tidak dipilih kembali karena merasa uzur.[55] Akan tetapi, ia tetap diangkat sebagai penasihat pimpinan pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.[56]

Pada tahun 1977, Hamka dipilih sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia yang pertama.   Hamka meninggal dunia pada hari Jum’at, 24 Juli 1981 pukul 10 lewat 37 menit dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden Fatah III.

Comments to: Hamka (Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah)

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Attach images - Only PNG, JPG, JPEG and GIF are supported.