Dalam diri Nani, mengalir darah biru. Ibunya, Saerah Mooduto, memiliki garis keturunan bangsawan. Sementara ayahnya, Zakaria Watabone, merupakan pegawai tinggi di pemerintahan Hindia Belanda.
Rekaman kesewenang-wenangan pemerintah terhadap rakyat, sudah memenuhi kepala Nani sejak kanak-kanak. Kesaksian inilah yang mendasarinya melawan kolonialisme. Kerap kali, dia bersilang pendapat dengan ayahnya yang justru memilih mengabdi kepada Belanda. Tak hanya di tingkat perdebatan, sikap mbalelo itu juga ditunjukkan lewat tindakan. Nani pernah membebaskan warga pribumi yang ditahan oleh ayahnya secara diam-diam.
Awal pendidikan Nani di Gorontalo dimulai di HIS (Holland Inlannsch School) atau setingkat sekolah dasar. Setelahnya, dia masuk MULO (Meter Uitgebreid Lagere Orderwijs) di Tondano. Sebelum rampung, dia terpaksa pindah ke Surabaya dan menamatkan sekolahnya di MULO Surabaya. Kemudian Nani melanjutkan ke ELS (Europesche Lagere School).
Setelah lulus, Nani memutuskan mendaftar Hoogere Burgerschool (HBS). Di sekolah itu, ia satu angkatan dengan Sukarno. HBS pada masanya merupakan sekolah yang memiliki pengajar bergelar doktor. Banyak tokoh bangsa yang pernah mengenyam pendidikan di tempat ini.
Pada rentang waktu tersebut, persahabatan Nani dan Soekarno terjalin. Keduanya juga sama-sama menimba ilmu dari H.O.S. Tjokroaminoto. Hanya saja, ketika tamat sekolah, Nani langsung pulang ke kampung halaman. Tak banyak kiprahnya di Surabaya terkecuali mendirikan Jong Gorontalo pada 1923 saat berusia 16 tahun.
Detak perjuangan Nani tak redam meski kembali ke Gorontalo. Semangatnya justru makin berderap. Pada November 1927, Nani mendirikan Persatuan Tani Gorontalo atau yang dikenal dengan sebutan Hulungan, sebagai alat pergerakan. Pemuda-pemudi berusia 15–17 tahun ramai bergabung. Jumlahnya mencapai 300 orang.
Beberapa tahun kemudian ia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) cabang Gorontalo. Saat dibubarkan, pada tahun 1931, Nani beralih mendirikan Partai Indonesia Raya (Partindo) di kotanya.
Namun, kegencaran pemerintah untuk memberangus segala kegiatan politik berimbas pula pada gerakan Nani. Tahun 1933, aktivitas Partindo dilarang sebab dicurigai membangkitkan kebencian terhadap Belanda.
Nani tak patah harapan. Segala daya dikerahkan demi menempuh jalan perjuangannya yang terjal. Hingga hari yang dinanti itu tiba. Ketika rakyat bersatu dan merebut kendali kuasa dari Belanda, pernyataan kemerdekaan dari Gorontalo berhasil digemakan. Terpaut tiga tahun sebelum Soekarno-Hatta membacakan naskah proklamasi di Pegangsaan Timur.
Fajar baru saja menyingsing, ketika orang-orang dalam jumlah besar, menyelinap ke pusat kota Gorontalo. Hari itu, Jumat 23 Januari 1942, menjadi saat yang menentukan untuk lepas dari belenggu kolonialisme. Tekad sudah membaja, masing-masing telah meneguhkan batin: merdeka atau mati!
Empat hari sebelumnya, santer tersiar kabar tentang muslihat Belanda yang hendak membumi hanguskan wilayah Gorontalo. Siasat itu bergulir, usai mendapat berita kekalahan tentara sekutu pada pertempuran Asia Pasifik. Belanda tak ingin Jepang menguasai sejumlah tempat penting, seperti pabrik kopra dan minyak kelapa. Namun mereka juga cemas, sebab sewaktu-waktu luncuran pesawat-pesawat berani mati Dai Nippon, bisa memberondong tanpa ampun.
Seorang pemuda bernama Nani Wartabone mengendus peluang perebutan kekuasaan di tengah keadaan bimbang itu. Siasat pun disusun bersama barisan rakyat. Supaya segalanya lancar, terlebih dahulu dipengaruhinya polisi-polisi penjaga kota agar tak menghalangi penyerangan. Jurus itu berhasil.
Tak butuh waktu panjang, pasukan Belanda terdesak karena kalah jumlah. Pimpinan Detasemen Veldpolitie, alias Brimob masa itu, WC Romer dan beberapa kepala jawatan yang ada di Gorontalo pun menyerah. Pelucutan juga menyasar pejabat lain, seperti Controleur D’Ancona, Asisten Residen Gorontalo bernama Corn, dan Kepala Polisi bernama Cooper.
Saat kemenangan dipastikan tergenggam, Nani segera mengganti bendera Belanda dengan Sang Saka merah putih di halaman Kantor Pos. Lagu “Indonesia Raya” turut berkumandang. Disusul pernyataan, bahwa Gorontalo serta Indonesia, bebas dari penjajahan. Di kemudian hari, peristiwa ini dikenal sebagai Hari Patriotik.
Enggan berlama-lama, struktur pengurusan Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPG) lantas dibentuk. Fungsinya sebagai Badan Perwakilan Rakyat (BPR). Peserta yang mengikuti rapat itu menunjuk Nani sebagai pucuk pimpinannya.
Sebulan berselang, tentara Jepang memasuki wilayah Gorontalo. Semula, kedatangannya disambut hangat. Nani beserta rakyat berharap, Jepang akan mendukung keberadaan PPG. Kenyataannya justru bertolak belakang. Tentara Jepang, yang semakin hari kian bertambah jumlah, tidak menyukai pengibaran merah putih. Mereka meminta untuk menurunkannya.
Nani tak menggubris. Rakyat malah didorong tetap memasang bendera, sebagai tanda bahwa kemerdekaan Gorontalo masih tegak. Jepang lah yang mesti mengakui proklamasi itu. Sikap tersebut membuat tentara Jepang meradang. Mereka mulai menebar ancaman kepada warga yang nekat mengerek tinggi merah putih. Nani menjadi orang yang paling dicari tentara Jepang lantaran menghasut rakyat untuk membangkang.
Sebaran intelijen Jepang, berhasil menghentikan gerak Nani. Desember 1942, dia ditangkap, dan langsung dibawa ke Manado. Perilaku tentara Jepang yang gemar menyiksa, dialami pula Nani. Dia bahkan sempat dikubur sebatas kepala di dekat pantai selama 24 jam. Kejam.
Tak hangus dijejal bara, lelaki kelahiran 30 April 1907 itu, tetap menolak mengakui kekuasaan Jepang di Indonesia, khususnya di Gorontalo. Sebab kekukuhan inilah, Nani baru dibebaskan pada bulan Juli 1945, ketika tanda-tanda kekalahan Jepang dari sekutu mulai tampak.
Kewaspadaan penuh digalakkan, selepas Jepang menyerah pada Sekutu. Sementara, pekik merdeka telah berkumandang di Jakarta. Nani sigap mengambil langkah. Pada 28 Agustus 1945, bersama barisan rakyat, direbutnya kantor Telekomunikasi Radio Jepang di Gorontalo.
Penjagaan wilayah juga diperkuat. Nani merekrut 500 pemuda dan pemudi untuk dijadikan pasukan keamanan dan pertahanan. Bermacam senjata hasil rampasan tentara Belanda dan Jepang, lantas disandangkan. Nani sendiri yang turun tangan melatih. Anak-anak muda itu dikumpulkan di perbukitan strategis wilayah Tabuliti Suwawa. Dari sana, hamparan kota Gorontalo bisa dipantau. Di tempat itu pula, raja-raja Gorontalo zaman dahulu membangun benteng-benteng pertahanan mereka.
Pangkal September 1945 Nani membentuk Dewan Nasional di Gorontalo. Fungsinya sebagai badan legislatif untuk mendampingi kepala pemerintahan. Di dalamnya duduk 17 orang sebagai anggota, terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat, juga ketua parpol.
Dua bulan berlalu, Belanda yang kembali ke Indonesia dengan membonceng tentara Sekutu, membujuk Nani untuk berunding di atas kapal. Nani sadar, ajakan itu hanya taktik untuk kembali berkuasa. Sebab menolak, Nani lagi-lagi ditahan oleh Belanda.
Pertama, dia dibui di Manado, kemudian dipindahkan ke Morotai. Dari sana, Nani sempat dialihkan ke Tomohon, kemudian dibawa ke Jakarta dan dikurung di Penjara Cipinang. Nani baru dibebaskan setelah persetujuan diketukkan Konferensi Meja Bundar, pada 23 Desember 1949.
Penjara demi penjara, tak membuat Nani Jera. Memasuki April 1950, Nani kembali menggerakkan rakyat Gorontalo dalam sebuah rapat raksasa untuk menolak Republik Indonesia Serikat (RIS).
RIS terdiri dari 7 negara bagian, dan 9 daerah otonom. Masing-masing mempunyai luas daerah dan jumlah penduduk berbeda. Di antara negara-negara bagian yang terpenting, selain Republik Indonesia yang memiliki luas daerah dan jumlah penduduk terbanyak, ialah Negara Sumatra Timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Pasundan, dan Negara Indonesia Timur.
Nani menentang pembentukannya, sekalipun Gorontalo sendiri berada dalam Negara Indonesia Timur. Baginya, RIS hanyalah pemerintahan boneka yang diinginkan Belanda agar Indonesia tetap terpecah dan mudah dikuasai lagi.
Pada periode ini hingga tahun 1953, Nani sebenarnya mengemban beberapa jabatan penting. Di antaranya kepala pemerintahan di Gorontalo, Penjabat Kepala Daerah Sulawesi Utara, dan anggota DPRD Sulawesi Utara.
Usai gonjang-ganjing politik itu reda, Nani memutuskan tinggal di desanya, Suwawa. Dia turun ke sawah, sembari berladang dan memelihara ternak.
Namun hanya sebentar. Sebab Nani terusik dengan tindakan Letkol Ventje Sumual dan kawan-kawannya, yang nekat memproklamasikan pemerintahan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Manado pada Maret 1957.
Nani tak ingin mendiamkan pemberontakan itu. Digerakkannya pasukan untuk merebut Kota Gorontalo dari militer Permesta pada 25 Februari 1958. Belum genap satu bulan, pasukan Permesta yang dipimpin Letnan Tiendas kembali merebut Gorontalo pada 17 Maret 1958. Persenjataan pasukan yang dipimpin Nani kalah kuat dibanding lawan.
Bersama keluarga dan sisa pasukan, Nani terpaksa masuk hutan untuk menghindari sergapan pemberontak. Karena inilah, bala tentara yang dipimpin Nani Wartabone digelari “Pasukan Rimba”.
Gerilya berlangsung berat. Beberapa kali kontak senjata tak terelakkan. Hingga bantuan dari pusat datang, dan perlawanan seimbang bisa dilakukan.
Pada 18 Mei 1958, satuan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) berhasil menduduki markas pemberontak di Jalan Merdeka. Namun pasukan Permesta ternyata sudah menyingkir melalui Desa Potanga, lima kilometer dari utara kota.
Gorontalo direbut dalam tempo 90 menit. Seluruh toko, kantor, bank, dan perbekalan ditemukan dalam keadaan utuh.
Presiden Soekarno yang mendengar kabar itu langsung memanggil Nani ke Jakarta. Bung Karno mengangkat Nani Wartabone menjadi residen pengganti Sulawesi Utara, menyulih kedudukan Sam Ratulangie.
Pada masa Orde Baru Nani Wartabone pernah menjadi anggota MPRS RI, anggota Dewan Perancang Nasional, dan anggota DPA.
Pengabdian Nani untuk Indonesia, berhenti saat napas terakhir dihembuskan bersamaan kumandang azan salat Jumat, pada 3 Januari 1986. Berselang 17 tahun kemudian, gelar pahlawan dianugerahkan padanya.
Kini, jejak kecintaan Nani Wartabone kepada Tanah Air, dimonumenkan pada tugu kokoh di tengah hamparan hijau alun-alun Gorontalo. Sebuah patung lelaki yang tegas mengarahkan telunjuk berdiri gagah, setegar kegigihan Nani dalam membela kemerdekaan Ibu Pertiwi. (Fuad Rizky, dari berbagai sumber)
No Comments
Leave a comment Cancel