Pahlawan Nasional: Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 115/TK/Tahun 2017

Sosok seorang pahlawan, tidak melulu seseorang yang memegang senjata dan melakukan perlawanan. Pengabdian sepenuh hati untuk agama dan tanah kelahiran juga mencerminkan jiwa heroik.   Dinamika sejarah umat Islam Indonesia, pernah diwarnai kehadiran ulama-ulama terkemuka yang karena ketokohan dan keteladanannya begitu dihormati dan dikenang oleh umat. Di kawasan timur Indonesia, tepatnya dari pulau Lombok Nusa Tenggara Barat, pernah lahir Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Seorang ulama karismatis yang berperan sangat besar dalam memajukan syiar dan pendidikan Islam di wilayah ini.

Tuan guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid dilahirkan pada hari Rabu, 17 Rabiul Awal 1326 (1904 M) di kampung Bermi, Desa Pancor, Kecamatan rarang Timur, Lombok Timur. Beliau adalah sosok pemimpin yang luar biasa. seorang pemimpin, pahlawan dan kebanggaan warga Nusa Tenggara Barat.

Al-Mukarram Mawlanasysyaikh Tuan Guru Kyai Hajji Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd’ adalah pendiri Nahdlatul Wathan, organisasi massa Islām terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tuan Guru merupakan gelar bagi para pemimpin agama yang bertugas untuk membina, membimbing dan mengayomi umat Islām dalam hal-hal keagamaan dan sosial kemasyarakatan, yang di Jawa identik dengan Kyai.

Seperti Hamka, beliapun memiliki nama singkatan, yaitu Hamzanwadi (Hajji Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd Nahdlatul Wathan Dīniyah Islāmiyah).

Beliau dilahirkan dari perkawinan Tuan Guru Hajjī Abdul Madjīd (beliau lebih akrab dipanggil dengan sebutan Guru Mu’minah atau Guru Minah) dengan seorang wanita shālihah bernama Hajjah Halīmah al-Sa’dīyyah.

Nama kecil beliau ‘Muhammād Saggāf’, dilatarbelakangi oleh peristiwa yang sangat menarik. Tiga hari sebelum dilahirkan, ayahandanya, TGH. Abdul Madjīd, didatangi dua walīyullāh, masing-masing dari Hadhramaũt dan Maghrabī. Kedua walīyullāh itu secara kebetulan mempunyai nama yang sama, yakni “Saqqāf”. Beliau berdua berpesan kepada TGH. Abdul Madjīd supaya anaknya yang akan lahir itu diberi nama “Saqqāf”, yang artinya “Atapnya para Wali pada zamannya”. Kata “Saqqāf” di Indonesiakan menjadi “Saggāf” dan untuk dialek bahasa Sasak menjadi “Segep”. Itulah sebabnya beliau sering dipanggil dengan “Gep” oleh ibu beliau, Hajjah Halīmah al-Sa’dīyyah.

Setelah menunaikan ibadah hajjī, nama kecil beliau diganti dengan ‘Hajjī Muhammād Zainuddīn’. Nama inipun diberikan oleh ayah beliau sendiri yang diambil dari nama seorang ‘ulamā‘ besar yang mengajar di Masjīd al-Harām. Akhlāq dan kepribadian ulamā‘ besar itu sangat menarik hati ayahandanya. Nama ulamā’ besar itu adalah Syaīkh Muhammād Zainuddīn Serawak, dari SerawakMalaysia.

Sejak kecil beliau terkenal sangat jujur dan cerdas. Karena itu tidaklah mengherankan bila ayah-bundanya memberikan perhatian istimewa dan menumpahkan kasih sayang yang begitu besar kepada beliau.

Ketika melawat ke Tanah Suci Mekah untuk melanjutkan studi, ayah-bundanya ikut mengantar ke Tanah Suci. Ayahandanyalah yang mencarikan guru tempat belajar pertama kali di Masjīd al-Harām dan sempat menemaninya di Tanah Suci sampai dua kali musim hajji. Sedangkan ibundanya Hajjah Halīmah al-Sa’dīyyah ikut bermukim di Tanah Suci mendampingi dan mengasuhnya sampai ibunda tercintanya itu berpulang ke rahmātullāh tiga setengah tahun kemudian dan dimakamkan di Ma’lah, Mekkah al-Mukarramah.

Dengan demikian, tampak jelaslah betapa besar perhatian ayah-bundanya terhadap pendidikannya. Tercermin dari sikap ibundanya bahwa setiap kali beliau berangkat untuk menuntut ilmu, ibundanya selalu mendo’ākan dengan ucapan “Mudah mudahan engkau mendapat ‘ilmu yang barakah” sambil berjabat tangan serta terus memperhatikan kepergian beliau sampai tidak terlihat lagi oleh pandangan mata.

Pernah suatu ketika, beliau lupa pamit pada ibundanya. Beliau sudah jauh berjalan sampai ke pintu gerbang baru sang ibu melihatnya dan kemudian memanggil beliau untuk kembali, Gep, gep, gep (nama panggilan masa kecil beliau), koq lupa bersalaman?, ucap ibundanya dengan suara yang cukup keras.

Akhirnya, beliaupun kembali menemui ibundanya sembari meminta ma’af dan bersalamān. Kemudian, ibundanya berdo’ā’, “Mudah-mudahan anakku mendapatkan ‘ilmu yang barokah”. Setelah itu, barulah beliau berangkat ke sekolah. Hal ini merupakan suatu pertanda bahwa betapa besar kesadaran ibundanya akan penting dan mustajabnya do’ā ibu untuk sang anak sebagaimana ditegaskan dalam Hadīts Rasūlullāh SAW, bahwa do’ā’ ibu menduduki peringkat kedua setelah do’ā’ Rasūl.

Setelah selesai menuntut ilmu di Mekah dan kembali ke tanah air, beliau langsung melakukan safari dakwah ke berbagai lokasi di pulau Lombok, sehingga dikenal secara luas oleh masyarakat.  Pada waktu itu masyarakat menyebutnya ‘Tuan Guru Bajang’.

Pada tahun 1934 mendirikan pesantren al-Mujahidin sebagai tempat pemuda-pemuda Sasak mempelajari agama dan selanjutnya pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 mendirikan Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) dan menamatkan santri (murid) pertama kali pada tahun ajaran 1940/1941.

Madrasah ini khusus untuk mendidik kaum pria. Kemudian pada tanggal 15 Rabiul Akhir 1362 H/21 April 1943 M. beliau juga mendirikan madrasah Nahdlatul Banat Diniah Islamiyah (NBDI) khusus untuk kaum wanita.

Kedua madrasah ini merupakan madrasah pertama di Pulau Lombok yang terus berkembang dan merupakan cikal bakal dari semua madrasah yang bernaung di bawah organisasi Nahdlatul Wathan. Dan secara khusus nama madrasah tersebut berubah nama menjadi pondok pesantren ‘Dar al-Nahdlatain Nahdlatul Wathan‘.

Pada zaman penjajahan, beliau juga menjadikan madrasah NWDI dan NBDI sebagai pusat pergerakan kemerdekaan, tempat menggembleng patriot-patriot bangsa yang siap bertempur melawan dan mengusir penjajah. Bahkan secara khusus al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid bersama guru-guru Madrasah NWDI-NBDI membentuk suatu gerakan yang diberi nama “Gerakan al-Mujahidin”.

Gerakan al-Mujahidin ini bergabung dengan gerakan-gerakan rakyat lainnya di Pulau Lombok untuk bersama-sama membela dan mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Bangsa Indonesia. Dan pada tanggal 7 Juli 1946, TGH. Muhammad Faizal Abdul Majid adik kandung dari Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid memimpin penyerbuan tanksi militer NICA di Selong. Dalam penyerbuan ini gugurlah TGH. Muhammad Faisal Abdul Madjid bersama dua orang santri NWDI sebagai Syuhada’.

Selasa, 21 Oktober 1997 dalam usia 99 tahun beliau berpulang ke rahmatullah sekitar pukul 19.53 WITA di kediaman beliau di desa Pancor, Lombok Timur. Tiga warisan besar beliau tinggalkan: ribuan ulama, puluhan ribu santri, dan sekitar seribu lebih kelembagaan Nahdlatul Wathan yang tersebar di seluruh Indonesia dan mancanegara.

Beliau sangat berjasa dalam mengubah masyarakat NTB dari keyakinan semula yang mayoritas animisme dan dinamisme menuju masyarakat NTB yang Islami. Buah perjuangan beliau jugalah yang menjadikan Pulau Lombok sehingga dijuluki Pulau Seribu Masjid. Karena di seluruh kampung di Lombok pasti kita temukan masjid untuk tempat ibadah dan acara sosial, baik yang berukuran kecil maupun besar.

Comments to: Muhammad Zainuddin Abdul Madjid

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Attach images - Only PNG, JPG, JPEG and GIF are supported.