Brigadir Jenderal TNI (AnumertaI Gusti Ngurah Rai (lahir di Desa CarangsariPetangKabupaten BadungBaliHindia Belanda30 Januari 1917 – meninggal di Marga, TabananBaliIndonesia20 November 1946 pada umur 29 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Kabupaten BadungBali.

Ngurah Rai memiliki pasukan yang bernama pasukan “Ciung Wanara” yang melakukan pertempuran terakhir yang dikenal dengan nama Puputan Margarana. (Puputan, dalam bahasa bali, berarti “habis-habisan”, sedangkan Margarana berarti “Pertempuran di Marga”; Marga adalah sebuah desa ibu kota kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan, Bali) Di tempat puputan tersebut lalu didirikan Taman Pujaan Bangsa Margarana.

Bersama 1.372 anggotanya pejuang MBO (Markas Besar Oemoem) Dewan Perjoeangan Republik Indonesia Sunda Kecil (DPRI SK) dibuatkan nisan di Kompleks Monumen de Kleine Sunda EilandenCandi Marga, Tabanan. Detail perjuangan I Gusti Ngurah Rai dan resimen CW dapat disimak dari beberapa buku, seperti “Bergerilya Bersama Ngurah Rai” (Denpasar: BP, 1994) kesaksian salah seorang staf MBO DPRI SK, I Gusti Bagus Meraku Tirtayasa peraih “Anugrah Jurnalistik Harkitnas 1993“, buku “Orang-orang di Sekitar Pak Rai: Cerita Para Sahabat Pahlawan Nasional Brigjen TNI (anumerta) I Gusti Ngurah Rai” (Denpasar: Upada Sastra, 1995), atau buku “Puputan Margarana Tanggal 20 November 1946” yang disusun oleh Wayan Djegug A Giri (Denpasar: YKP, 1990).

I Gusti Ngurah Rai dilahirkan oleh seorang wanita keturunan Bali yang bernama I Gusti Ayu Kompyang. Ayahnya adalah seorang Camat Petang yang bernama I Gusti Ngurah Palung. Berkat jabatan ayahnya tersebut ia mendapatkan kesempatan untuk bersekolah formal di Holands Inlandse School (HIS)Denpasar. Setelah menyelesaikan pendidikannya disana, ia kemudian melanjutkan ke MULO (setingkat Sekolah Menengah Pertama) di Malang.

Pada tahun 1936 I Gusti Ngurah Rai yang sejak kecil tertarik dengan dunia militer[1] melanjutkan pendidikannya di Sekolah Kader Militer di Prayodha Bali, Gianyar. Pada tahun 1940, Ngurah Rai dilantik sebagai Letnan II yang kemudian meneruskan pendidikan di Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO)Magelang dan Pendidikan Artileri, Malang.[1] Bekal ilmu kemiliteran yang telah diperolehnya semasa muda dan pribadinya yang cerdas telah membawanya menjadi seorang intel sekutu di daerah Bali dan Lombok, semasa penjajahan kolonial.

Tahun 1945 setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, ia bersama dengan rekan militernya ikut membentuk Tentara Kemanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil, kemudian ia diangkat menjadi komandannya. Berbekal rasa tanggung jawab sebagai Komandan TKR, I Gusti Ngurah Rai pergi ke Yogyakarta yang menjadi markas besar TKR untuk berkonsolidasi dengan pimpinan pusat. Saa itu juga, ia dilantik menjadi Komandan Resimen Sunda Kecil berpangkat Letnan Kolonel.[1] TKR Sunda Kecil di bawah pimpinannya, dengan kekuatan 13,5 kompi ditempatkan tersebar diseluruh kota di Bali, saat itu pasukannya dikenal dengan nama Ciung Wanara.

Pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra dan kenaikan pangkat menjadi Brigjen TNI (anumerta). Namanya kemudian diabadikan dalam nama bandar udara di Bali, Bandar Udara Internasional Ngurah Rai dan nama kapal perang KRI I Gusti Ngurah Rai. Sebagai bentuk penghargaan lain atas jasanya, profil wajahnya pernah dicantumkan pada cetakan mata uang Rupiah pecahan Rp. 50.000 tahun emisi 2005.

Pada tahun 1975, I Gusti Ngurah Rai dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia oleh Pemerintah Indonesia.

Comments to: I Gusti Ngurah Rai

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Attach images - Only PNG, JPG, JPEG and GIF are supported.